TIDAK BERSIKAP FANATIK BUTA
A.
Sekilas Pandang Tentang
Fundamentalisme
Berbagai
versi tentang masalalu dengan berbagai gambaran dan catatan telah membentuk dan
mendorong berbagai gerakan dalam bidang agama, sosial, dan politik.
Mentalitas para fundamentalis
dibentuk oleh sebuah mimpi yg menyedihkan, seperti pembunuhan, penyiksaan, dan
pengusiran terhadap para mukmin.
Sebagian muslim, Kristen,
yahudi telah menolak istilah fundamentalisme karena mengimplikasikan bahwa
kalangan militan ini orang beriman sejati.
Untuk menggambarkan berbagai
pandangan tentang masalalu dari para fundamentalis sebagai ” tersiksa “ akan
riskan bagi pemahaman pengamat luar hilangnya arti penting dan fungsi dari
sejarah bagaimana yang telah mereka pelajari.
Akibatnya sulit
menimbulkan gerakan bersama dalam rangka menjadikan faktor – faktor keragaman
menjadi suatu kekuatan sosial dan alat pemandirian rakyat.
Gerakan fundamentalis keagamaan radikalisme adalah prinsip –
prinsip atau praktik – praktik yang dilakukan secara radikal.
Radikalisme sering
disejajarkan dengan istilah ekstremisme, militanisme, atau fundamentalisme.
Lebih
dari masyarakat umum, para aktivis fundamentalis terpikat oleh berbagai
kejadian dalam sejarah dan menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk mendoktrin
dan memilih para kader dengan berbagai pelajaran tentang moral dan politik.
B.
Terorisme dan Keniscayaan Pliralisme
Terorisme
di Aceh dan fenomena Dolmatin membuktikan bahwa system regenerasi dalam
jaringan terorisme bukan hanya merancang bom dan meledakkan bom bunuh diri.
Andaikata jaringan
terorisme di aceh yg saat ini diburu Densus 88 bukan bukan termasuk komplotan
mendiang Noordin M. top, pandangan politik dan keagamaan mereka tetap sama.
Munculnya jaringan
terorisme di Aceh dan penyergapan mematikan terhadap dulmatin menunjukkan bahwa
suburnya terorisme di Indonesia bukan karena pengaruh AL Qaeda.
1.
Kesenjangan Sosial
Selain
penekanan keamanan yang dilakukan institusi Polri, pemerintah juga harus
menghapus kesenjangan sosial, seperti kemiskinan, tingginya angka pengangguran,
dan kebodohan.
2.
Hambatan – Hambatan dalam Dialog
Antaragama
Kerja
sama antarkeyakinan dimungkinkan melalui dialog antaragama sebagai disiplin
yang ketat, jauh dari retorika kosong mengenai persaudaraan dan toleransi.
Tujuan dialog bukanlah untuk mengubah
keyakinan pihak lain, juga bukan untuk membuktikan bahwa agama seseorang salah.
Setiap agama memiliki dua
kecenderungan. Pertama bersifat tradisional, dogmatis, ritualistic,
institusional, dan legal. Kedua bersifat liberal, spiritual, modernis,
internal, individual, dan manusiawi. Pihak yang lain memahami bahwa pluralisme
berlaku untuk semua kategori.
C.
Islam dan Pluralisme
Agama
dan pluralisme seyogyanya perlu ditransformasikan dalam kehidupan beragama.
Untuk menjauhi sifat – sifat ekstrem dalam hubungan keagamaan dan hubungan
sosial dalam masyarakat, perlu dibangun nilai – nilai pluralisme.
Selanjutnya untuk
mengenal makna lebih jauh tentang pluralisme dapat kita amati dan analisis
sebagai berikut.
1.
Pluralisme makhluk Allah
Makhluk
Allah ada manusia, jin, iblis dan malaikat yang tidak dapat dilihat oleh
manusia. Dari keempat maklhuk Allah ini, manusia adalah yang termuda.
2.
Pluralisme suku bangsa
Manusia
pertama adalahh Adam, kemudian diciptakan pasangannya. Keturunan mereka berkembang
biak menjadi kelompok – kelompok kecil dan besar. Keturunannya, letak
geografis, pilihan diri, kesamaan nasib, dan lain – lain telah membuat mereka
terkotak – kotak menjadi suku – suku dan bangsa – bangsa.
3.
Pluralisme Bahasa
Pluralisme
bahasa mengikuti pluralisme bangsa. Bangsa – bangsa berbudaya dan berperadaban
melalui bahasa yang mereka ucapkan. Berbahasa adalah salah satu ciri
kemanusiaan.
4.
Pluralisme agama
Pada
dasarnya setiap manusia mempunyai kebebasan untuk meyakini agama yang
dipilihnya dan beribadah menurut keyakinan tersebut, persis seperti termaktub
dalam ayat (2) pasal 29 UUD 1945. Dalam Alquran banyak ayat yang berbicara tentang
penerimaan petunjuk atau agama Allah.
5.
Pluralisme Sumber Daya
Faktor
– faktor produksi yang bersifat manusiawi dan alami diberikan kepada setiap
individu dan bangsa secara bebas, tetapi dengan cara yang berbeda dan tidak
sama. Pronsip ini dapat dilihat dari Negara – Negara yang kaya dan miskin
sumber daya alami dan manusiawi.
Berdasarkan Ketetapan
Presiden No. 1 tahun 1965, yang kemudian dikukuhkan dalam UU No. 5 tahun 1969
negara hanya mengakui lima agama resmi, yaitu Islam, Kristen, katolik, Hindu,
dan Buddha. Dengan kata lain, ada pengakuan terhadap pluralisme dan keragaman,
tapi islam, sebagai faktor simbolik pembentuk yang mayoritas itu, ditempatkan
menduduki puncak – puncak dalam pluralisme itu.
No comments:
Post a Comment