Powered By Blogger

Tuesday, 13 October 2015

makalah fiqh muamallah



FIQIH MUAMALAH

Disusun oleh:
Wahyudi
Safitriani
Yanna Riza




KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
FAKULTAS EKONOMI, JURUSAN MANAJEMEN
 

KATA PENGANTAR
            Segala  puji  hanya  milik  Allah,  Shalawat  dan  salam  selalu tercurahkan kepada Rasulullah saw.  Berkat  limpahan  dan rahmat-Nya penyusun  mampu  menyelesaikan  tugas  makalah ini guna memenuhi tugas  mata kuliah Agama Islam.
            Agama  sebagai  sistem  kepercayaan  dalam  kehidupan  umat  manusia  dapat  dikaji  melalui  berbagai  sudut  pandang.  Islam  sebagai  agama  yang  telah  berkembang  selama  empat  belas  abad  lebih  menyimpan  banyak  masalah  yang  perlu  diteliti,  baik  itu  menyangkut  ajaran  dan  pemikiran  keagamaan  maupun  realitas  sosial,  politik,  ekonomi  dan  budaya.
            Makalah ini kami susun agar pembaca lebih memahamai tentang kaidah-kaidah fiqih muamalah dalm kehidupan sehari-hari dan kelak dapat mengamalkannya.
            Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca. Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu penulis memohon kritik beserta saran yang membangun untuk memperbaiki isi dari makalah ini nantinya.





  

BAB I

PENDAHULUAN
A.        Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna di antara ciptaan-NYA dan juga sebagai pemimpin dimuka bumi ini. Dari pengertian ini biasanya disalah artikan oleh manusia itu sendiri, dengan cara bertindak
semaunya sendiri/seenaknya sendiri tanpa melihat apa ada yang dirugikan disekeliling mereka. Artinya hanya peduli dengan kepentingannya sendiri tanpa peduli pada kepentingan orang lain. Seperti contoh bermasyarakat khususnya dengan tetangga, jika kita menyalakan radio selayaknya sesuai aturan jangan sampai mengganggu tetangga kita, yang mana dari itu ketahuanlah bahwa kita punya rasa tenggang rasa atau tidak. Jadi secara tidak lain kita sebagai warga Negara yang baik harus taat pada aturan tertulis maupun yang tidak tertulis seperti aturan dalam masyarakat. Khususnya bagi umat muslim selain harus taat pada aturan-aturan tertulis maupun yang tidak tertulis, kita juga mempunyai aturan agama yang memang wajib kita laksanakan jika ingin benar-benar menjadi seorang muslim yang haqiqi yaitu fiqh.
Didalamnya mencakup seluruh sisi kehidupan individu dan masyarakat, baik perekonomian, sosial kemasyarakatan, politik bernegara, serta lainnya. Para ulama mujtahid dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan yang setelah mereka tidak henti-hentinya mempelajari semua yang dihadapi kehidupan manusia dari fenomena dan permasalahan tersebut di atas dasar ushul syariat dan kaidah-kaidahnya.
Berangkat dari sini, sudah menjadi kewajiban setiap muslim dalam kehidupannya untuk mengenal dan mengamalkan hukum-hukum syariat terkait dengan amalan tersebut. Seperti yang akan ditulis oleh pemakalah yaitu tentang kaidah-kaidah fiqh bermuamalah yang bertujuan sebagai acuan/sandaran kita dalam hubungan kepentingan antar sesama manusia.

B.        Rumusan Masalah
1.      Pengertian fiqih muamallah
2.      Hukum dalam bertransaksi (jual beli)
3.      Akad dalam jual beli
4.      Pengamalan rukun-rukun dan syarat jual beli
5.      Riba dalam kehidupan masyarakat
6.      Masalah dalam bank, asuransi, dan Multilevel marketing

C.        Tujuan penulisan
1.      Mengenal apa itu fiqih muamalah
2.      Mengamalkan fiqih muamalah
3.      Mengetahui konsep jual beli dalam fiqih muamalah
4.      Menghindarkan diri dari riba dalam kehidupan sehari-hari
5.      Mendiskusikan permasalahan baru dalam fiqih muamalah seperti bank, asuransi dan multilevel marketing

D. Keabsahan penulisan
             Fiqih muamalah adalah bagian penting dari kehidupan masyarakat Islam yang mengatur segala bentuk kehidupan duniawi manusia. Sekian banyak bidang ilmu dalam fiqih muamalah kami menulis bidang ekonomi sebab berdasarkan latar belakang penulis sebagai mahasiswa ekonomi. Keabsahan penulisan serta keorisinilan makalah dapat penulis pertanggungjawabkan berdasarkan pada sumber-sumber yang terpercaya baik buku-buku fiqih maupun media internet.




BAB II
ISI
A.    Pengertian fiqih muamalah
Fiqih ialah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syariat islam yang diambil dari dalil-dalinya yang terperinci. Fiqih artinya faham atau tahu. Menurut hasan ahmad alkhatib: fiqhul  islami ialah sekumpulan hukum syara’ yang sudah dibukukan dalam berbagai mazhab baik dari mazhab yang empat maupun mazhab lainnya.
Secara bahasa kata muamalah adalah masdar dari kata ‘amala-yu’amilimu’amalatan yang berarti saling bertindak saling berbuat dan saling beramal.
Pengertian muamalah terbagi 2 :
1.      Pengertian dalam arti  sempit yaitu aturan allah yangmengatur hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat  keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik.
2.      Pengertian dalam arti luas yaitu aturan-aturan hukum allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam pergaulan social.

B.                 Pembagian muamalah
Menurut ibn ‘abidin, fiqih muamalah terbagi menjadi 5 bagian yaitu:
a.                   Mu’awadlah  maliyah ( hukum kebendaan)
b.                  Munakahat ( hukum perkawinan)
c.                   Muhasanat ( hukum acara)
d.                  Amanah dan ‘aryah (pinjaman)
e.                   Tirkah ( harta peninggalan)



C.                 Ruang lingkup fiqih muamalah
1.                  Bersifat adabiyah yaitu ijab dan Kabul, saling meridhai tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, penimbunan, dan segala sesuatu yang bersumber dari indra manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta dalam hidup bermasyarakat.
2.                  Bersifat madiyah yaitu masalah jual beli , sewa menyewa,pinjaman, upah, dan ditambah beberapa masalah mu’ashirah sepeti masalah bunga bank, asuransi, kredit dan lain-lain.
D.        Perdagangan Atau Jual Beli
            Menurut istilah (terminologi) yang dimaksud dengan jual beli adalah menukar barang dengan barang atau baranf dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari satu kepada yang lain atas dasar merelakan.
a.         rukun jual beli
            Ada tiga rukun dalam perdagangan (jual beli) yaitu:
1.      Adanya pihak-pihak yang melakukan transaksi, misalnya penjual dan pembeli, penyewa dan pemberi sewa, pemberi jasa dan penerima jasa (orang yanng berakad)
2.      Adanya barang (maal) atau jasa (amal) yang menjadi obyek transaksi (objek akad)
3.      Adanya kesepakatan bersama dalam bentuk kesepakatan menyerahkan bersama dengan kesepakatan menerima (ijab kabul)
4.         Adanya nilai tukar barang atau harga (menurut Jumhur ulama)

b. Syarat jual beli
a)      Madzab Hanafiyah
            Menurut Madzhab Hanafiyah ada empat macam syarat yang harus dipenuhi dalam jual beli, yaitu:

1.         Syarat Akad (Syarat in ‘Aqad)
            Diantara syaratnya adalah orang yang melakukan akad harus cakap bertindak hukum, adanya persesuaian antara ijab dan kabul, dan berlangsung dalam saru majlis akad, harus ada barang yang diperjualbelikan, milik sendiri dan dapat di serahterimakan.
2.         Syarat Shihhah
            Syarat shihhah adalah jual beli tersebut tidak boleh mengandung enam unsur yang merusaknya, yaitu: jihalah ( ketidakjelasan), ikrah (paksaan), tauqid (pembatasan waktu),  gharar (tipu daya), dharar (aniaya), dan persyaratan yang merugikan orang lain.
3.         Syarat Nafadz
            Ada dua syarar dalam syarat nafadz yaitu adanya unsur milkiyah atau wilayah dan benda yang diperjualbelikan dan benda yang diperjualbelikan bukan hak orang lain.
4.         Syarat Luzum
            Yaitu tidak adanya khiyar yang memberikan pilihan kepada masing-masing pihak untuk membatalkan atau meneruskan jual beli.
b)      Madzhab Malikiyah[2]
Fuqoha Malikiyah merumuskan tiga macam syarat jual beli yaitu:

1.         Syarat yang berkaitan dengan orang yang berakad (‘Aqid), adalah harus mumayyiz, cakap hukum, berakal sehat, dan pemilik barang.

2.         Syarat yang berkaitan dengan Shigat (lafal ijab kabul). Adalah dilaksanakan dalam satu majlis dan antara ijab dan kabul idak terputus.

3.         Syarat yang berkaitan dengan objeknya, yaitu barang yang diperjualbelikan tidak dilarang oleh syara’, suci, bermanfaat, diketahui oleh ‘aqid dan dapat diserahterimakan.

c)      Madzhab Syafi’yah
Menurut fuqoha Syafi’yah syaratnya adalah:

1.         Syarat yang berkaitan dengan ‘Aqid yaitu baligh, berakal dan cakap hukum, tidak dipaksa, Islam dalam hal jual beli  mushaf dan kitab hadist, tidak kafir harbi dalam hal jual beli peralatan perang.
2.         Syarat yang berkaitan dengan ijab kabul,  yaitu : berupa percakapan dua pihak, pihak pertama menyatakan barang dan harganya, qabul dinyatakan oleh pihak kedua, antara ijab dan kabul tidak terputus dengan percakapan lain, kalimat qabul tidak berubah dengan qabul yang baru, terdapat kesesuaian antara ijab dan kabul, shigat akad tidak digantungkan dengan sesuatu yang lain, dan tidak dibatasi oleh periode waktu tertentu.
3.         Syarat yang berhubungan dengan objek jual beli adalah harus suci, dapat diserah terimakan, dapat dimanfaatkan secara syara’, hak milik sendiri atau milik orang lain dengan kuasa atasnya, berupa materi dan sifat-sifatnya dapat dinyatakan secara jelas.

d)     Madzhab Hanabillah
Fuqaha Hanabilah merumuskan tiga kategori persyaratan, yaitu:
1.         Yang berhubungan dengan ‘aqid adalah harus baligh dan berakal sehat kecuali dalam jual beli barang-barang yang ringan, dan harus ada kerelaan.
2.         Syarat yang berkaitan dengan shigat yaitu harus berlangsung dalam satu majlis, antara ijab dan qabul tidak terputus dan akadnya tidak dibatasi dengan periode waktu tertentu.
3.         Syarat yang berkaitan dengan objek adalah berupa mal atau harta, milik para pihak, dapat diserahterimakan, dinyatakan secara jelas oleh para pihak, harga dinyatakan secara jelas dan tidak ada halangan syara’.

c. Dilarangnya jual beli
            Jual beli terlarang apabila terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
1.         Haram, artinya tidak sah menjual barang-barang najis seperti anjing, babi, dan lainnya, sementara anjing untuk berburu diperbolehkan.
2.         Tidak memberi manfaat menurut syara’, maka dilarang jual beli benda-benda yang tidak boleh diambil manfaatnya menurut syara’ seperti babi, kalajengking, cicak, dan lain-lain.
3.         Ditaklikan, yaitu dikaitkan atau digantungkan kepada hal-hal lain, seperti jika ayahku pergi, kujual motor ini.
4.         Waktunya dibatasi, seperti perkataan kujual motor ini kepada tuan selama 1 tahun, maka penjualan tersebut tidak sah sebab jual beli merupakan salah satu sebab kepemilikan secara penuh yang tidak dibatasi apapun kecuali ketentuan syara’
5.         Tidak dapat diserahan kembali, seperti menjual binatang yang sudah lari dan tidak bisa ditangkap lagi.
6.         Tidak memilikinya, artinya tidak sah menjual suatu barang orang lain tanpa seizin pemiliknya[3][4]

d. Jual beli yang terlarang tapi sah
            Ada beberapa jual beli yang dilarng oleh agama, tetapi sah dilakukan dan orang yang melakukannya mendapat dosa.
1.         Menemui kafilah yang hendak kepasar untuk membeli barang-barangnya dengan harga semurah-murahnya sebelum mereka tau harga pasaran. Kemudian menjualnya dengan harga yang setinggi-tingginya. Perbuatan ini menyulitkan orang lain apalagi bila barang yang dibawa adalah keperluan pokok seperti makanan, pakaian, dan lain-lain.
2.         Menawar barang yang sedang ditawar oleh orang lain sebelum ada ketetapan harganya. Seseorang berkata pada pedagang barang, “tolaklah harga tawarannya itu, aku akan membeli dengan harga yang lebih mahal”. Hal ini dilarang agama karena menyakitkan orang lain.
3.         Bi Najasyi, menambah atau melebihi harga, tetapi bukan bermaksud hendak membeli, melainkan memancing orang lain untuk membeli barang tersebut. Hal ini banyak ditemui dikalangan pedagang yang bekerja sama dalam menjual suatu barang. Perbuatan inni dilarang karena menyakitkan hati pembeli.
4.         Menjual diatas penjualan orang lain. Seseorang berkata kepada si pembeli “kembalikan saja barang itu, aku akan menjual barangku deengan harga yang lebih murah”. Hal ini dilarang agama karena menyakitkan hati si penjual.




e. Khiyar dalam jual beli
            Khiyar adalah pemberian hak memilih kepada orang-orang yang melakukan transaksi untuk melanjutkan transaksi atau tidak. Hal ini dilakukan untuk menjamin kerelaan dan kepuasan timbal baik pihak-pihak yang melakukan jual beli. Menurut Islam, hak khiyar dalam jual beli itu diperbolehkan, karena suatu keperluan yang mendesak dalam mempertimbangkan kemaslahatan masing-masing pihak yang melangsungkan transaksi.
            Macam-macam khiyar:
1.         Khiyar majlis
            Hak pilih dari kedua belah pihak yang berakad untuk melanjutkan atau membatalkan akad, selama keduanya masih berada dalam majlis akad.
2.         Khiyar ‘aib
Yaitu hak untuk membatalkan atau melangsungkan jual beli bagi kedua belah pihakyang berakad apabila terdapat suatu cacat pada objek yang diperjual belikan, dan cacat itu tidak diketahui pemiliknya ketika akad berlangsung.(fiqh muamalah, abdul Rahman dkk, h.100).
3.         Khiyar Ru’yah
            Yaitu hak pilih bagi pembeli untuk menyatakan berlaku atau batal jual beli yang ia lakukan terhadap suatu objek yang belum ia lihat ketika akad berlangsung. Jumhur ulama mengataklan bahwa khiyar ini diperbolehkan dengan alasan objek yang akan dibeli itu tidak ada di tempat berlangsungnya akad.
4.         Khiyar syarat
            Yaitu hak pilih yang dijadikan syarat oleh keduanya atau salah seorang dari keduanya sewaktu terjadi akad untuk meneruskan atau membatalkan akadnya itu agar dipertimbangkan setelah sekian hari. Lama syarat yang diminta paling lama tiga hari.
5.         Khiyar ta’yin
Yaitu hak pembeli dalam menentukan barang yang berkualitas dalam jual beli. Menurut jumhur ulama khiyar seperti ini tidak sah karena dalam akad jual beli ada ketentuan bahwa barang yang diperdagangkan harus jelas, baik kualitasnya maupun kuantitasnya. Oleh karena itu jumhur ulama memasukkannya dalam kategori jual beli al-ma’dum ( tidak jelas identitasnya).
            Namun ulama hanafiyah membolehkan khiyar ini dengan alasan bahwa produk sejenis yang berbeda kualitas sangat banyak dan tidak diketahui secara pasti oleh pembeli sehingga ia memerlukan bantuan seorang pakar. Namun ada tiga syarat, yaitu:
-          Pilihan dilakukan terhadap barang sejenis yang berbeda kualitas dan sifatnya
-          Barang itu berbeda sifat dan nilainya
-          Tenggang waktu untuk khiyar ta’yin harus ditentukan, yaitu tidak boleh lebih dari tiga hari

E.         Riba
                  Menurut bahasa riba adalah suatu perbuatan meminta tambahan atau membungakan dari sesuati yang dihutangkan. Menurut Syaikh Muhammad Abduh yang dimaksud dengan riba adalah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena pengunduran janji pembayaran oleh pminjam dari waktu yang ditentukan.
                        Macam-macam riba:
a)      Riba Fadhl
            Adalah jual beli hyang disertai adanya tambahan salah satu pengganti ( penukar ) dari lainnya. Dengan kata lain, tambahan berasal dari penukar paling akhir, berlebihan timbangannya pada barang-barang yang ditimbang, berlebih takarannya pada barang-barang yang ditakar, berlebih ukurannya pada barang-barang yang diukur. Riba ini terjadi pada barang yang sejenis, seperti menjual satu kilogram kentang dengan satu setengah kilogram kentang.

b)      Riba Yad
            Adalah jual beli dengan mengakhirkan penyerahan ( al – qabdu ) , yakni bercerai – berai antara dua orang yang akad sebelum timbang terima, seperti menganggap sempurna jual beli antara gandum dengan sya’ir tanpa harus saling menyerahkan dan menerima ditempat akad.
c)      Riba Nasi’ah
            Adalah jual beli yang pembayarannya diakhirkan, tetapi ditambahkan harganya.

1.         Bank Konvensional dan Riba
            Menurut UU No.10 tahun 1992 tentang bank, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sedangkan menurut Dr. Fuad Moh. Fachruddin, bank adalah suatu perusahaan yang memperdayagunakan hutang-piutang, baik yang merupakan uangnya sendiri maupun orang lain.
            Karena bank adalah masalah baru dalam khazanah hukum Islam, maka para ulama masih memperdebatkan keabsahan sebuah bank.berikut ini beberapa pandangan mengenai hukum perbankan, yaitu mengharamkan, tidak mengharamkan, dan syubhat (samar-samar).  Bank sendiri saat ini terbagi dalam 2 golongan yaitu bank konvensional dan bank syariah.
            Bank konvensional adalah bank yang menggunakan sistem bunga kepada nasabahnya. Banyak para ulama yang mengharamkan bank jenis ini sebab pemakaian sistem bunga merupakan riba nasi’ah namun kecuali jika keadaan mendesak.
Beberapa produk Bank Konvensional antara lain     Simpana,  giro,   cek, tabungan, deposito inkaso, dan lain-lain.
            Penambahan produk bank konvensional, menurut tinjauan fiqih muamalah, berkaitan dengan sejumlah bentuk muamalah dan terpulang pada kedudukan bunga yang dianut oleh bank itu sendiri dan bentuk produknya.
            Diharamkannya riba karena dua hal :
a.                   Adanya kedhaliman, yaitu adanya keuntungan yang tidak sebanding. Sebenarnya kelebihan itu bukan sebab keharaman riba, melainkan karena adanya unsure kedhaliman.
b.                  Adanya eksploitasi dalam kebutuhan pokok atau adanya gharar, ketidakpasstian, dan spekulasi yang tinggi.
            Oleh karena itu, bunga bank tidak diharamkan selama tidak mengandung dua unsure diatas.

2.         Asuransi Konvensional
            Kata asuransi ini dalam bahasa inggris disebut Insurance dan dalam bahasa prancis disebut Assurance. Sedangkan dalam bahasa arab disebut at-Ta’mien. Asuransi ini didefinisikan dalam kamus umum bahasa Indonesia sebagai perjanjian antara dua pihak, pihak yang satu akan membayar uang kepada pihak yang lain, bila terjadi kecelakaan dan sebagainya, sedang pihak yang lain itu akan membayar iuran.
            Masalah asuransi dalam pandangan Islam juga masih perlu dikaji sebab tidak dijelaskan Oleh Alquran dan Al-sunnah secara eksplisit.
            Ulama-ulama yang mengharamkan asuransi beralasan bahwa:
·                     Asuransi pada hakikatnya sama dengan judi
·                     Mengandung unsur yang tidak jelas/pasti
·                     Mengandung unsur riba
·                     Premi-premi yang telah dibayarkan oleh pemegang polis diputar dalam praktik riba
·                     Hidup matinya manusia dijadikan objek bisnis yang berarti mendahului takdir Allah.
Sementara ulama-ulama yang membolehkan beralasan bahwa:
·                    Tidak ada nash Alquran dan nash Al Hadist yang melarang asuransi
·                    Kedua belah pihak berjanji dengan penuh kerelaan
·                    Asuransi digunakan untuk kemaslahatan umumdan kepentingan bersama.
·                    Asuransi menjaga manusia dari kecelakaan harata benda, kekayaan, dan kepribadian.


3. Multilevel Marketing (MLM)
Di sistem ini seorang konsumen harus mampu merekrut konsumen (jaringan) dibawahnya disebut frontline (jaringan/kaki pertama) dan downline atau upline (jaringan/kaki kedua dan seterusnya) dan ia akan menerima keuntungan (prosentase) dari setiap pembelanjaan downline tersebut. Semakin banyak jaringan (downline) maka semakin besar pula keuntungan yang akan diterima olehnya. Bila mampu mencapai titik tertentu sesuai persyaratan, ia akan menduduki suatu posisi dan akan menerima bonus yang telah ditentukan. Cara ini memutus tahapan diatas, yakni dari pabrik langsung kepada konsumen yang sekaligus bisa menjadi distributor. Mengenai harga, tetap seperti diatas hanya kelebihan harga pabrik tersebut menjadi keuntungan distributor.
[5]Pada kenyataannya ada tiga macam bentuk yang berkaitan dengan bisnis MLM :
a.
         MLM yang tidak menjual produk, biasa disebut money game (permainan uang). Contoh: Pihak MLM menawarkan sebuah sepeda motor merk x hanya dengan menyetor uang Rp. 2.000.000 dengan syarat harus bisa menjaring sebanyak sepuluh orang yang masing-masing harus menyetorkan uang sebesar Rp. 2.000.000 pula. la akan menerima sepeda motor tersebut setelah mampu menjaring sepuluh orang, dan bila tidak, maka uang tersebut hangus. Demikian seterusnya. MLM jenis ini haram sebab berupa penipuan yang nyata.
b.
         Perusahaan MLM, ialah suatu perusahaan yang menjual produk orang lain dengan sistern MLM, yakni ia membeli suatu produk dari pabrik kemudian memasarkannya dengan sistem MLM. Perusahaan MLM ini kadang-kadang [6]mengakibatkan harga menjadi tidak wajar (diatas harga pasar) dan kadang-kadang kabur entah kemana, sehingga banyak yang tidak pernah menerima bonus yang dijanjikan dan jaringan yang paling bawah tidak bisa mengembangkan lagi jaringan. MLM jenis ini hukumnya boleh, hanya calon konsumen (calon anggota MLM tersebut) harus berhati-hati karena harga barang menjadi tidak wajar, dan kadang-kadang bisa bangkrut.

c.
         Perusahaan yang memasarkan produknya dengan sistem Penjualan Berjenjang (Network Marketing).
Adalah sebuah perusahaan yang menjual produknya dengan sistem berjenjang, sehingga setiap konsumen di perusahaan tersebut adalah juga seorang distributor. Dimana akan mendapatkan keuntungan sesuai dengan jumlah jaringan dan omzet yang dicapai sesuai dengan sistem marketing yang disetujui sejak awal. Dengan harga produk yang cukup wajar.
MLM  jenis ini hukumnya shah / halal. Adanya bonus yang dijanjikan, disamakan dengan ju’alah.
Yang perlu diperhatikan dalam MLM ini adalah
1.         Bagi calon anggota, hendaknya memahami prosedur dan peraturan yang berlaku pada MLM
2.         Bagi siapapun hendaknya tidak membeli barang yang tidak diperlukan karena termasuk israf yang dilarang oleh Islam.
IFANCA (The Islamic Food and Nutrition of America)  mengingatkan umat Islam untuk meneliti dahulu kehalalan suatu bisnis MLM sebelum bergabung ataupun menggunakannya. Yaitu, dengan mengkaji aspek:
1.
         Marketing Plan-nya, apakah ada unsur skema piramida atau tidak. Kalau ada unsur piramida yaitu distributor yang lebih duluan masuk selalu diuntungkan dengan mengurangi hak distributor belakangan sehingga merugikan down line di bawahnya, maka hukumnya haram.
2.
         Apakah perusahaan MLM, memiliki track record positif dan baik. Ataukah tiba-tiba muncul dan misterius, apalagi yang banyak kontroversinya.
3.
         Apakah produknya mengandung zat-zat haram ataukah tidak, dan apakah produknya memiliki jaminan untuk dikembalikan atau tidak.
4.
         Apabila perusahaan lebih menekankan aspek targeting penghimpunan dana dan menganggap bahwa produk tidak penting atau hanya sebagai kedok, apalagi uang pendaftarannya cukup besar nilainya, maka patut dicurigai sebagai arisan berantai (money game) yang menyerupai judi.
5.
         Apakah perusahaan MLM menjanjikan kaya mendadak tanpa bekerja ataukah tidak demikian.















BAB II
PENUTUP
A.        Kesimpulan
            Fiqih muamalah merupakan salah satu dari bagian persoalan hukum Islam seperti yang lainnya yaitu tentang hukum ibadah, hukum pidana, hukum peradilan, hukum perdata, hukum jihad, hukum perang, hukum damai, hukum politik, hukum penggunaan harta, dan hukum pemerintahan.
            Ruang lingkup fiqih muamalah adalah seluruh kegiatan muamalah manusia berdasarkan hokum-hukum islam yang berupa peraturan-peraturan yang berisi perintah atau larangan seperti wajib,sunnah,haram,makruh dan mubah.hokum-hukum fiqih terdiri dari hokum-hukum yang menyangkut urusan ibadah dalam kaitannya dengan hubungan vertikal antara manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia lainnya. Ruang linkup fiqh muamalah terdiri dari dua yaitu fiqh muamalah yang bersifat adabiyah dan madiyah.

B.        Kritik dan Saran
            Makalah yang penulis buat ini adalah hasil dari analisa penulis dari berbagai sumber buku yang ada. Kiranya terdapat kesalahan dalam penulisan makalah ini mohonlah penulis dimaafkan, dan penulis sangat mengharapkan apresiasi dari pembaca baik berupa kritik maupun saran yang bersifat membangun.








DAFTAR PUSTAKA

Suhendi Hendi.2010. Fiqih Muamalah, Jakarta; Rajawali Pers
Mas’ud Ibnu, dan Zainal Abidin. 2007. Fiqih Madzhab Syafi’i, Bandung,  Pustaka Setia


[1] Hendi Suhendi, Fiqh Muammalah, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hlm. 31.

[2] http://amieavrily.blogspot.com/2013/05/fiqih-muamalah-jual-beli-dan-khiyar.html
[3] Hendi Suhendi, Fiqh Muammalah, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hlm.72

[4] Ibnu Mas’ud dan Zainal abidin, Fiqih Madzhab Syafi’i, Cv Pustaka Setia, bandung, 2007, hlm 38
[6] ibid

No comments:

Post a Comment